BOLAANG MONGONDOW MASA LALU
Kalau sejak raja pertama Bolaang Mongondow membangun istana kerajaan (dalam bahasa daerah Mongondow disebut Komalig) diatas gunung Bumbungon, maka sejak tahun 1480 raja Damopolii membangun istananya di Kotobangon (sekarang terletak samping kiri jalan menuju bukit Ilongkow). Istana Raja (Komalig) yang terakhir ditempati raja Laurens Cornelis Manoppo dan istri Bai’ Taupang Mokoagow musnah terbakar saat Permesta tahun 1959. Dikemudian hari ( kurang diketahui disaat pemerintahan raja siapa) pusat kerajaan dipindahkan ke desa Bolaang. Bukti perpindahan ini dapat dilihat dengan adanya pekuburan raja-raja Bolaang Mongondow yang di atas satu bukit kecil di desa Bolaang (samping kiri jalan raya menuju Manado) tetapi ditahun 1901 pusat kerajaan dikembalikan lagi ke Kotobangon.
Raja Tahode diganti oleh anaknya bernama Mokoagow pada tahun 1650. Mokoagow menambah namanya dengan Loloda ( raja Manado yang ditaklukan Raja Damopolii ) sehingga menjadi Loloda Mokoagow. Raja Loloda Mokoagow biasa juga disebut dengan nama Datu Binangkang. Kata Binangkang berasal dari kata Mongondow binangkangan yang artinya diperdayai atau ditipu. Binangkangan itu terjadi saat VOC dari belanda telah memasuki Manado. Karena Manado dipandang strategis bagi usaha perdagangan VOC maka mereka segera mendirikan benteng dari kayu. Tetapi pada 30 Desember 1665 VOC memutuskan untuk mengganti benteng kayu dengan beton. Agar pekerjaan dilaksanakan sehemat mungkin maka tenaga diusahakan dari Manado melalui raja Loloda Mokoagow, sedangkan bahan lain seperti besi dan kapur disiapkan oleh kompeni Belanda. Orang-0rang Minahasa yang datang dari pedalaman dibawah para pemimpin masyarakat ( disebut Ukung ) juga diminta Raja Loloda Mokoagow untuk mengerjakan benteng ini. Pemimpin Kompeni yang baru yaitu Jan Baptista dalam melanjutkan pekerjaan benteng ini secara diam-diam mulai menyingkirkan peran Raja Loloda Mokoagow dengan cara melakukan pengaturan rahasia dengan para Ukung. Akibatnya Loloda Mokoagow menarik komitmennya untuk membantu pembangunan Benteng. Ia juga mengancam para Ukung dari Minahasa untuk tidak bekerja pada pembangunan ini. Raja Loloda Mokoagow merasa tersinggung karena dihina oleh kompeni meninggalkan Manado dan pindah menetap di Amurang. Sikap dan tindakan Raja Loloda Mokoagow ternyata mengakibatkan pudarnya sama sekali hegemoninya di kawasan Manado.
Pada pihak lain desakan dari Kompeni Belanda menyebabkan para pemimpin rakyat Minahasa melakukan pemutusan hubungan dibawah sumpah dengan Raja Loloda Mokoagow. Hal ini terjadi pada tahun 1668. Gubernur Ternate yang berkunjung ke Manado tahun itu juga mengundang Loloda Mokoagow dari Amurang ke Manado guna berunding dengan para Ukung. Niat baik Loloda Mokoagow saat memenuhi undangan tersebut ternyata ditolak pemimpin Kompeni di Manado bersama para pemimpin rakyat Minahasa dengan alasan bahwa mereka telah melakukan pemutusan hubungan dengan Raja Loloda Mokoagow. Akibatnya Loloda Mokoagow melakukan beberapa penyerangan ke pedalaman Minahasa dengan tujuan memberi pengajaran kepada mereka sambil tetap menuntut dikembalikannya Manado dalam wilayah kekuasaannya. Penyerangan ke Minahasa selain dilakukan dari jalur Amurang, juga dari jalur pantai Selatan Kotabunan. Tidak jauh dari Kotabunan terdapat satu tempat sumber air yang sangat jernih. Ditempat itu tentara Bolaang biasa beristirahat sambil mandi dan membersihkan segala perlengkapan. Tempat itu mereka beri nama Bataa ( tempat untuk mencuci perlengkapan ), kemudiannya berobah sebutan menjadi Basaan.
Raja Loloda Mokoagow meninggal pada tahun 1694. Sebenarnya raja Loloda Mokoagow telah mempersiapkan seorang anaknya untuk menggantikannya. Ternyata niat itu dilangkahi oleh Kompeni Belanda sebab mereka mendesak untuk menetapkan Manoppo sebagai raja Bolaang menggantikannya. Manoppo adalah anak Loloda Mokoagow dengan seorang selir bernama Malo dari Minahasa. Manoppo tidak dibesarkan diistana Raja di Amurang tetapi ia tinggal di Manado sebab dibawah oleh Kompeni. Hal ini ternyata mengandung maksud tertentu yaitu mempersiapkan Manoppo menggantikan ayahnya sebagai Raja Bolaang. Pimpinan Kompeni di Manado Pieter Alsteyn dan Stepanus Thierry menekan raja Manoppo untuk membuat perjanjian. Perjanjian itu ditanda tangani pada 30 September 1694 yang ketentuannya antara lain:
- | Raja Bolaang tidak akan menuntut upeti lagi dari walak-walak tertentu di Minahasa ( dalam hal ini Pasan, Ratahan, Ponosakan dan Tonsawang ) |
- | Sungai Poigar ditentukan sebagai tanda batas antara Bolaang dan Minahasa ( batas itu membentang dari Poigar - Pontak sampai Buyat ) |
- | Para Ukung di Manado ( termasuk Minahasa ) tidak dibenarkan mengadakan tindakan apapun yang dapat merugikan kepentingan Bolaang |
Agaknya akibat dari penanda tanganan perjanjian ini menyebabkan raja Manoppo harus meninggalkan Amurang dan memilih desa Bolaang sebagai pusat kerajaan.
Manoppo yang telah lama tinggal di Manado telah dibabtis menjadi penganut agama Kristen Protestan. Dalam beberapa buku dan beberapa catatan lepas sering ditulis dan dijelaskan bahwa Manoppo dibabtis menurut cara Katolik. Hal itu tidak benar sebab ditahun pembabtisannya pengaruh Portugal maupun Spanyol telah lenyap sama sekali dari Sulawesi Utara. Spanyol yang sempat mempengaruhi Sulawesi Utara dengan tinggal dan membangun pasanggrahan di Amurang telah meninggalkan Sulawesi Utara pada tahun 1666 akibat tekanan tentara Kompeni dari VOC.
Disaat pembabtisannya Manoppo diberi tambahan nama Yakobus sehingga namanya menjadi Yakobus Manoppo. Demikianlah sejak saat itu raja Bolaang telah menganut agama Kristen Protestan.
Sumber: http://gmibm.tripod.com/new_page_12.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar